Hari
ini seperti biasa semua berjalan lambat dan membosankan. Ku lihat guru sejarah
bercuap-cuap di depan kelas menerangkan materi, semua murid memperhatikan dengan
serius. Kecuali aku, aku hanya menatap kosong keluar jendela sembari
memutar-mutarkan ballpoint ditanganku. Mataku terus mengamati ke luar jendela
hingga aku menemukan sosoknya. Sosok yang selama ini aku cari dengan gayanya
yang khas lewat di depan kelas ku. Mata ku terus menelusuri sosoknya hingga
perlahan-lahan sosoknya menghilang.
Ya
perkenalkan namaku Klarisa. Aku adalah seorang pemuja rahasia yang mengagumi
laki-laki yang tak berani bertatapan namun memerhatikan setiap gerak-geriknya
dari jauh. Aku lebih nyaman seperti ini, karena dengan begini semua akan
terlihat baik-baik saja. Dan dia tidak perlu tahu tentang perasaanku dan aku
tidak perlu canggung jika bertemu dengannya. laki-laki itu bernama Leo. Aku
mengenalnya karena kami satu tim volly. Walau sering kali kami latihan
bersama-sama tetapi hanya diam dan bisu yang kurasakan. Kami seperti orang tak
saling kenal, tak ada satu katapun yang terucap dari bibir kami berdua. Sosoknya
begitu misterius hingga membuatku penasaran.
***
Hari
itu tepat hari senin, seluruh siswa dan guru mengikuti upacara. Tiba-tiba saja
mataku menangkap sosoknya dalam kerumunan siswa yang berbaris. Dengan stelan
seragam putih-putih sederhana kulihat Leo sedang mengatur teman-teman sekelasnya
untuk tertib. Sayangnya jarak antara kita harus dibatasi oleh beberapa murid
yang berbaris. Tak apa bagiku yang terpenting ialah bisa melihatnya walaupun dia
tidak melihatku.
Tak
bisa dipungkiri perasaanku kian hari bertambah pesat setiap kali aku dan Leo bertemu,
agak berlebihan rasanya jika aku mengatakan ’bertemu’ lebih tepatnya
‘berpas-pas-an’. “Awalnya ku kira ini
serangan jantung, tapi saat aku melihat ke arahmu aku tau penyebabnya itu
adalah kamu”. Perasaan ini
berkembang menjadi rasa yang tak dapat aku jelaskan, bahkan aku sendiri juga
masih belum mengerti. Aku tak berani menatap wajahnya, hanya menunduk kerap
kali kami bertemu. Tak peduli bila Leo berpikir bahwa aku aneh.
Malam
harinya iseng-iseng ku buka twitterku dan lagi-lagi ku dapati Leo dalam
kebisingan timeline ku. Pertanyaan malam ini, “mengapa kita hanya sering bertemu dalam timeline?” “tak pantaskah kita
bertemu dalam nyata?”. Ya benar, kami memang sudah saling berteman di dalam
situs jejaring sosial itu.
***
Waktu
istirahat sudah tiba, segera aku meluncur ke kantin, dan aku menemukan Leo
sedang bersenda gurau bersama teman-temannya. Dengan suara, senyuman, tawa dan
gaya khasnya menambah kesan kharisma dalam dirinya. Lagi-lagi aku hanya bisa menatapnya
diam-diam, semua ku sembunyikan, mencintai tanpa sepengetahuan Leo. Senang
rasanya bila menjadi teman-teman terdekatnya, dapat berbicara dengannya tanpa
canggung, dapat menatapnya tanpa malu-malu, dapat menyentuhnya, bahkan dapat
bertukar pikiran dengannya. Aku kadang iri dengan teman-temannya. Kita jarang
punya waktu untuk sekedar berbicara berdua. Hah mustahil! Tiba-tiba saja ada
kejadian yang tak dapat kulupakan bahkan membekas di hatiku. Saat aku sedang
memesan minuman bersebelahan dengan Leo yang juga sedang memesan minuman. Tak sengaja lengan kami pun
bersentuhan.
Malamnya ku hempaskan tubuhku ke atas
kasur, pandanganku tertuju lurus ke arah langit-langit kamarku ku lihat sosok
dengan senyum khasnya. Ya sosok itu adalah Leo. Terbayang jelas di otakku
kejadian tadi siang di kantin. Untuk kedua kalinya aku dan Leo bersentuhan. “Kedua? Ya kedua, ingat kah untuk pertama
kalinya kita bersentuhan saat sedang latihan? Dan pelatih menyuruh kita semua
berpasang-pasangan tapi tiba-tiba kamu secara refleks menggenggam tanganku.
Padahal disebelah kamu ada temanmu, mengapa kamu memilihku untuk berpasangan
denganmu?” Apakah semua ini awal dari terkabulnya semua harapanku?
***
Sejak
saat itu aku selalu menunggu sosok Leo di kantin. “kamu adalah sosok yang selalu aku cari,tapi aku adalah sosok yang
tidak pernah kamu temukan.” Pernah saat aku sedang memerhatikannya,
tiba-tiba mata kami berdua bertemu. Serasa darah ku mengalir cepat di dalam
tubuhku. Kami terus bertatapan tanpa mempedulikan apapun disekitar, sampai
akhirnya Leo melepaskan tatapannya kepadaku dan kembali bercanda dengan
teman-temannya. Timbul rasa kecewa dalam hatiku tapi aku merasa dengan cara Leo
menatapku seperti itu aku dapat berbicara dengannya, walau hanya dengan
tatapan. “apakah kamu juga selalu
menatapku saat kita bertemu? Menatap diriku yang sedang tertunduk malu?” batinku
menyesal.
Hari
demi hari, kami menjadi sering bertemu lebih tepatnya berpas-pas-an. Tak jarang
aku menangkap matanya dan mataku bertemu malu-malu. “kita seperti 2 pasang mata yang tak berani bertatapan namun saling
memerhatikan”. Hatiku bergejolak dan menaruh harap. Timbul dalam benakku
perasaan “apakah kamu juga menyukaiku?”
Timbul seutas garis senyum di sudut bibirku. Padahal aku sudah berjanji pada
diriku untuk tidak terlalu banyak berharap. Ingin rasanya mengungkapkan semua
yang aku rasakan tapi bila berpikir secara logika. “Melihat kamu ada di timeline ku saja sudah membuatku kalang kabut.
Melihat kamu tersenyum walau bukan untukku saja sudah membuat aku senang. Tak
perlu menjadi sesuatu yang kamu rindukan, cukup menjadi sesuatu yang kamu
butuhkan saja sudah membuat ak senang”.
***
Hari
ini bagiku adalah hari terindah, setelah sekian lama aku menunggu hal itu. Untuk
pertama kalinya Leo mengajakku berbicara, walaupun ia hanya bertanya “ada buku yang ketinggalan di sini nggak?”
cuma dengan 1 kalimat yang tidak berarti seperti itu saja sudah membuatku
kalang kabut. Dengan gemetar ku jawab “tidak
ada kok.” Dia pun menjawab “oh okedeh
thanks ya Klarisa” ucapnya sambil tersenyum. Tak ada yang istimewa bukan? Tapi
di dalam kalimat sederhana itu yang menjadikannya istimewa saat dia menyebut
namaku. Dia tahu namaku! Padahal selama ini kita tidak pernah berkenalan,
jangankan berkenalan berbicara kepadaku saja tak pernah. Ku balas dengan
senyuman penuh arti. Entah apakah dia menangkap arti dari senyumku saat itu.
“Salahkah jika aku mengartikan tindakkanmu
sebagai cinta? Salahkah juga bila aku selalu berharap kita mempunyai perasaan
yang sama?” Ya biar saja semua menjadi salahku. Baru kali ini aku merasa kesalahan
terasa begitu indah. “bagiku mencintaimu
bukan sesuatu kesalahan”.
***
Semuanya
berjalan normal, aku menikmati semua ini. Bagiku bahagia itu sederhana bisa
menikmati saat-saat aku memerhatikannya dari jauh, bisa menikmati saat dimana
mata kami saling bertemu, bisa menikmati saat pertama kali Leo mengajakku
berbicara. Sesederhana itu, tapi dapat membuatku bahagia. “Diam-diam aku senang menulis tentangmu, diam-diam kamu menjadi salah
satu inspirasi bagiku”. Aku terus tersenyum sembari menekan-nekan tuts
keyboard dilaptopku. “Sadarkah Leo, ada
yang selalu memperhatikanmu”.
Kulihat
lampu LED ku menyala kedap-kedip tanda ada pesan masuk. Ku baca nama yang
tertera dilayar handphoneku, tanpa nama. Ku buka pesan tersebut dan ku baca dan
ternyata itu Leo. Aku merasa jantungku tiba-tiba berhenti berdetak. Tak
kusangka Leo mengirimkan pesan singkat kepadaku. Malam itu kami saling membuka
percakapan melalui pesan singkat.
Setiap kali bertemu kami tak banyak
bicara hanya saling berbicara lewat tatapan tapi mengapa sepanjang malam dalam
pesan singkat, ada saja hal yang aku dan Leo bahas, dan membuat kita berdua
saling berargumen. Terbaca dari percakapan-percakapannya melalui pesan singkat
ia begitu antusias dan bersemangat merespon pembicaraan ku. Apakah aku harus
merasa sesenang ini? Atau tidak. Bisa saja dia menulis tanpa perasaan dan emoticon ‘J’ yang dia selipkan di setiap
pesan singkatnya hanya sebatas pelengkap untuk menyembunyikannya.
Entah kenapa hari ini pesanmu tidak
muncul dalam inbox handphoneku. “Apakah
kamu berpikir aku akan menghubungi kamu duluan? Aku tidak mengirimkanmu sms
duluan bukan karena aku tidak peduli, tapi karena aku menunggu sms darimu”.
***
Seperti tahu yang aku inginkan, malam
itu Leo kembali mengirimkan ku sms dan
kami kembali memulai percakapan-percakapan sederhana hingga sampai pada
akhirnya kami berbicara pada titik tertinggi dan paling menyentuh dari dalam
ruang kecil di hati, ya cinta. Leo menceritakan tentang mantan kekasihnya,
menceritakan tentang manis pahitnya kehidupan percintaannya, menceritakan
tentang kerinduan terhadap perhatian kecil yang didapat dulu dari kekasihnya.
Padahal jika dia menyadari, aku sudah memberikan perhatian-perhatian kecil
tersebut kepadanya. Apakah mungkin dia belum menyadarinya. Lalu batinku
bertanya-tanya “Bukankah pria hanya akan menceritakan
perasaannya kepada wanita yang dianggapnya nyaman?” Apakah Leo kini sudah
nyaman denganku? Lagi-lagi timbul secerca harapan dalam benakku. Akhir-akhir
ini aku menjadi sulit tidur, bukan karena banyak pikiran tetapi karena ada 1
hal yang membuatku malas untuk tidur hingga pagi, itu karena Leo. Rugi rasanya
bila harus mengakhiri pembicaraan ku dengan Leo sampai aku harus menahan
kantukku. “Sadarkah kamu, ada yang selalu
menahan kantuknya agar terus dapat berbicara denganmu walau ia harus salah
mengetik?”
***
Pagi
hari aku datang ke sekolahku dengan perasaan tergesa-gesa karena saat itu jam
sudah menunjukan 6 lewat 45. Aku berpikir bahwa hanya aku saat itu yang datang
terlambat. Tapi ternyata tidak, disudut parkiran kulihat seorang laki-laki
terburu-buru memarkirkan motornya lalu pergi berlari masuk ke dalam sekolah.
Aku terbengong-bengong melihatnya, sosok yang tidak asing bagiku, ya itu Leo.
Dan tiba-tiba Leo menegurku agar aku segera masuk ke kelas. Suara itu langsung
saja membuyarkan lamunanku. Dan kita berdua akhirnya berjalan berdampingan
menuju kelas masing-masing, bahagia rasanya. Kita berjalan dalam diam, tak ada
sepatah katapun yang terluncur dari bibir kami berdua. Ku perhatikan setiap
gerak tubuhnya dan irama nafasnya, semua seakan-akan melebur menjadi satu. Ah
kamu begitu sempurna Leo.“Kamu sangat
sulit di tebak, kamu seperti puzzle yang sulit untuk di gabungkan dan teka-teki
yang mempunyai banyak cabang”. Waktu rasanya begitu cepat saat kita bersama
orang yang kita sukai. Mau tidak mau kami harus berpisah karena letak kelas
kami yang berbeda. Dengan gaya khasnya, Leo melambaikan tangan dan tersenyum
kepadaku. Lalu Leo pergi, dari kejauhan punggungnya yterlihatang masih tampak namun
perlahan-lahan akhirnya hilang.
Waktu
ke waktu aku dan Leo semakin dekat, sering kali Leo menorehkan senyum kepadaku,
mengajakku berbicara tanpa canggung atau sekedar menyapa saat kami bertemu. Dan
aku semakin menikmati kedekatan kami yang entah bernama apa. “Aku takut perhatian kecil darinya kapadaku
tak hanya ditujukan untukku. Aku takut semua yang aku harapkan tak seperti yang
kamu harapkan”. Tak mungkin Leo tidak tahu bahwa aku mencintainya, tak
mungkin Leo tidak memahami perhatian kecil dariku. Tak mungkin Leo begitu bodoh
untuk dapat mengartikan semuanya. Hanya menunggu yang dapat ku lakukan.
***
Pertemuan
aku dan Leo yang unik dan tidak tertuga menambah kesan dalam setiap kebersamaan
kami yang singkat. “Apakah kamu dapat
merasakan kesan yang selalu aku rasakan setiap kali kita bersama?” biarlah
waktu yang menjawab semuanya.
Setelah
pulang sekolah tak disangka Leo datang mengunjungi kelasku untuk menyampaikan
maksud kedatangannya. Ternyata dia ingin mengajakku pergi menonton bersamanya.
Dengan senang hati ku ‘iya’ kan ajakkannya. Hari itu kami lalu dengan bahagia
dan pada akhirnya semua mimpi, angan dan ilusiku berubah menjadi nyata.
Penantianku membuahkan hasil. Akhirnya Leo menyatakan perasaanmu kepadaku. Saat
itu kami resmi menjadi sepasang kekasih. Dan aku tak perlu memerhatikannya
diam-diam diantara tembok harapan, karena saat ini Leo sudah menjadi milikku.
Dan aku tidak perlu iri lagi dengan teman dekatnya. “Apakah
Leo dapat merasakan penantianku selama ini mencintainya diam-diam?” Biarkan
semua menjadi rahasia.
“Satu
hal yang dapat aku pelajari, tunggu lah dan perjuangkanlah sesuatu yang kamu
anggap pantas dan lepaskanlah sesuatu yang kamu anggap tidak pantas.”
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar