Sabtu, 13 September 2014

Biarlah Waktu yang Menjawab

Hari ini seperti biasa semua berjalan lambat dan membosankan. Ku lihat guru sejarah bercuap-cuap di depan kelas menerangkan materi, semua murid memperhatikan dengan serius. Kecuali aku, aku hanya menatap kosong keluar jendela sembari memutar-mutarkan ballpoint ditanganku. Mataku terus mengamati ke luar jendela hingga aku menemukan sosoknya. Sosok yang selama ini aku cari dengan gayanya yang khas lewat di depan kelas ku. Mata ku terus menelusuri sosoknya hingga perlahan-lahan sosoknya menghilang.
            Ya perkenalkan namaku Klarisa. Aku adalah seorang pemuja rahasia yang mengagumi laki-laki yang tak berani bertatapan namun memerhatikan setiap gerak-geriknya dari jauh. Aku lebih nyaman seperti ini, karena dengan begini semua akan terlihat baik-baik saja. Dan dia tidak perlu tahu tentang perasaanku dan aku tidak perlu canggung jika bertemu dengannya. laki-laki itu bernama Leo. Aku mengenalnya karena kami satu tim volly. Walau sering kali kami latihan bersama-sama tetapi hanya diam dan bisu yang kurasakan. Kami seperti orang tak saling kenal, tak ada satu katapun yang terucap dari bibir kami berdua. Sosoknya begitu misterius hingga membuatku penasaran.
***
            Hari itu tepat hari senin, seluruh siswa dan guru mengikuti upacara. Tiba-tiba saja mataku menangkap sosoknya dalam kerumunan siswa yang berbaris. Dengan stelan seragam putih-putih sederhana kulihat Leo sedang mengatur teman-teman sekelasnya untuk tertib. Sayangnya jarak antara kita harus dibatasi oleh beberapa murid yang berbaris. Tak apa bagiku yang terpenting ialah bisa melihatnya walaupun dia tidak melihatku.
            Tak bisa dipungkiri perasaanku kian hari bertambah pesat setiap kali aku dan Leo bertemu, agak berlebihan rasanya jika aku mengatakan ’bertemu’ lebih tepatnya ‘berpas-pas-an’. “Awalnya ku kira ini serangan jantung, tapi saat aku melihat ke arahmu aku tau penyebabnya itu adalah kamu”.  Perasaan ini berkembang menjadi rasa yang tak dapat aku jelaskan, bahkan aku sendiri juga masih belum mengerti. Aku tak berani menatap wajahnya, hanya menunduk kerap kali kami bertemu. Tak peduli bila Leo berpikir bahwa aku aneh.
            Malam harinya iseng-iseng ku buka twitterku dan lagi-lagi ku dapati Leo dalam kebisingan timeline ku. Pertanyaan malam ini, “mengapa kita hanya sering bertemu dalam timeline?” “tak pantaskah kita bertemu dalam nyata?”. Ya benar, kami memang sudah saling berteman di dalam situs jejaring sosial itu.
***
            Waktu istirahat sudah tiba, segera aku meluncur ke kantin, dan aku menemukan Leo sedang bersenda gurau bersama teman-temannya. Dengan suara, senyuman, tawa dan gaya khasnya menambah kesan kharisma dalam dirinya. Lagi-lagi aku hanya bisa menatapnya diam-diam, semua ku sembunyikan, mencintai tanpa sepengetahuan Leo. Senang rasanya bila menjadi teman-teman terdekatnya, dapat berbicara dengannya tanpa canggung, dapat menatapnya tanpa malu-malu, dapat menyentuhnya, bahkan dapat bertukar pikiran dengannya. Aku kadang iri dengan teman-temannya. Kita jarang punya waktu untuk sekedar berbicara berdua. Hah mustahil! Tiba-tiba saja ada kejadian yang tak dapat kulupakan bahkan membekas di hatiku. Saat aku sedang memesan minuman bersebelahan dengan Leo yang juga sedang  memesan minuman. Tak sengaja lengan kami pun bersentuhan.
Malamnya ku hempaskan tubuhku ke atas kasur, pandanganku tertuju lurus ke arah langit-langit kamarku ku lihat sosok dengan senyum khasnya. Ya sosok itu adalah Leo. Terbayang jelas di otakku kejadian tadi siang di kantin. Untuk kedua kalinya aku dan Leo bersentuhan. “Kedua? Ya kedua, ingat kah untuk pertama kalinya kita bersentuhan saat sedang latihan? Dan pelatih menyuruh kita semua berpasang-pasangan tapi tiba-tiba kamu secara refleks menggenggam tanganku. Padahal disebelah kamu ada temanmu, mengapa kamu memilihku untuk berpasangan denganmu?” Apakah semua ini awal dari terkabulnya semua harapanku?
***
            Sejak saat itu aku selalu menunggu sosok Leo di kantin. “kamu adalah sosok yang selalu aku cari,tapi aku adalah sosok yang tidak pernah kamu temukan.” Pernah saat aku sedang memerhatikannya, tiba-tiba mata kami berdua bertemu. Serasa darah ku mengalir cepat di dalam tubuhku. Kami terus bertatapan tanpa mempedulikan apapun disekitar, sampai akhirnya Leo melepaskan tatapannya kepadaku dan kembali bercanda dengan teman-temannya. Timbul rasa kecewa dalam hatiku tapi aku merasa dengan cara Leo menatapku seperti itu aku dapat berbicara dengannya, walau hanya dengan tatapan. “apakah kamu juga selalu menatapku saat kita bertemu? Menatap diriku yang sedang tertunduk malu?” batinku menyesal.
            Hari demi hari, kami menjadi sering bertemu lebih tepatnya berpas-pas-an. Tak jarang aku menangkap matanya dan mataku bertemu malu-malu. “kita seperti 2 pasang mata yang tak berani bertatapan namun saling memerhatikan”. Hatiku bergejolak dan menaruh harap. Timbul dalam benakku perasaan “apakah kamu juga menyukaiku?” Timbul seutas garis senyum di sudut bibirku. Padahal aku sudah berjanji pada diriku untuk tidak terlalu banyak berharap. Ingin rasanya mengungkapkan semua yang aku rasakan tapi bila berpikir secara logika. “Melihat kamu ada di timeline ku saja sudah membuatku kalang kabut. Melihat kamu tersenyum walau bukan untukku saja sudah membuat aku senang. Tak perlu menjadi sesuatu yang kamu rindukan, cukup menjadi sesuatu yang kamu butuhkan saja sudah membuat ak  senang”.
***
            Hari ini bagiku adalah hari terindah, setelah sekian lama aku menunggu hal itu. Untuk pertama kalinya Leo mengajakku berbicara, walaupun ia hanya bertanya “ada buku yang ketinggalan di sini nggak?” cuma dengan 1 kalimat yang tidak berarti seperti itu saja sudah membuatku kalang kabut. Dengan gemetar ku jawab “tidak ada kok.” Dia pun menjawab “oh okedeh thanks ya Klarisa” ucapnya sambil tersenyum. Tak ada yang istimewa bukan? Tapi di dalam kalimat sederhana itu yang menjadikannya istimewa saat dia menyebut namaku. Dia tahu namaku! Padahal selama ini kita tidak pernah berkenalan, jangankan berkenalan berbicara kepadaku saja tak pernah. Ku balas dengan senyuman penuh arti. Entah apakah dia menangkap arti dari senyumku saat itu.
            “Salahkah jika aku mengartikan tindakkanmu sebagai cinta? Salahkah juga bila aku selalu berharap kita mempunyai perasaan yang sama?” Ya biar saja semua menjadi salahku. Baru kali ini aku merasa kesalahan terasa begitu indah. “bagiku mencintaimu bukan sesuatu kesalahan”.
***
            Semuanya berjalan normal, aku menikmati semua ini. Bagiku bahagia itu sederhana bisa menikmati saat-saat aku memerhatikannya dari jauh, bisa menikmati saat dimana mata kami saling bertemu, bisa menikmati saat pertama kali Leo mengajakku berbicara. Sesederhana itu, tapi dapat membuatku bahagia. “Diam-diam aku senang menulis tentangmu, diam-diam kamu menjadi salah satu inspirasi bagiku”. Aku terus tersenyum sembari menekan-nekan tuts keyboard dilaptopku. “Sadarkah Leo, ada yang selalu memperhatikanmu”.
            Kulihat lampu LED ku menyala kedap-kedip tanda ada pesan masuk. Ku baca nama yang tertera dilayar handphoneku, tanpa nama. Ku buka pesan tersebut dan ku baca dan ternyata itu Leo. Aku merasa jantungku tiba-tiba berhenti berdetak. Tak kusangka Leo mengirimkan pesan singkat kepadaku. Malam itu kami saling membuka percakapan melalui pesan singkat.
Setiap kali bertemu kami tak banyak bicara hanya saling berbicara lewat tatapan tapi mengapa sepanjang malam dalam pesan singkat, ada saja hal yang aku dan Leo bahas, dan membuat kita berdua saling berargumen. Terbaca dari percakapan-percakapannya melalui pesan singkat ia begitu antusias dan bersemangat merespon pembicaraan ku. Apakah aku harus merasa sesenang ini? Atau tidak. Bisa saja dia menulis tanpa perasaan dan  emoticon ‘J’ yang dia selipkan di setiap pesan singkatnya hanya sebatas pelengkap untuk menyembunyikannya.
Entah kenapa hari ini pesanmu tidak muncul dalam inbox handphoneku. “Apakah kamu berpikir aku akan menghubungi kamu duluan? Aku tidak mengirimkanmu sms duluan bukan karena aku tidak peduli, tapi karena aku menunggu sms darimu”.
***
Seperti tahu yang aku inginkan, malam itu Leo kembali mengirimkan ku sms dan kami kembali memulai percakapan-percakapan sederhana hingga sampai pada akhirnya kami berbicara pada titik tertinggi dan paling menyentuh dari dalam ruang kecil di hati, ya cinta. Leo menceritakan tentang mantan kekasihnya, menceritakan tentang manis pahitnya kehidupan percintaannya, menceritakan tentang kerinduan terhadap perhatian kecil yang didapat dulu dari kekasihnya. Padahal jika dia menyadari, aku sudah memberikan perhatian-perhatian kecil tersebut kepadanya. Apakah mungkin dia belum menyadarinya. Lalu batinku bertanya-tanya “Bukankah pria hanya akan menceritakan perasaannya kepada wanita yang dianggapnya nyaman?” Apakah Leo kini sudah nyaman denganku? Lagi-lagi timbul secerca harapan dalam benakku. Akhir-akhir ini aku menjadi sulit tidur, bukan karena banyak pikiran tetapi karena ada 1 hal yang membuatku malas untuk tidur hingga pagi, itu karena Leo. Rugi rasanya bila harus mengakhiri pembicaraan ku dengan Leo sampai aku harus menahan kantukku. “Sadarkah kamu, ada yang selalu menahan kantuknya agar terus dapat berbicara denganmu walau ia harus salah mengetik?”
***
            Pagi hari aku datang ke sekolahku dengan perasaan tergesa-gesa karena saat itu jam sudah menunjukan 6 lewat 45. Aku berpikir bahwa hanya aku saat itu yang datang terlambat. Tapi ternyata tidak, disudut parkiran kulihat seorang laki-laki terburu-buru memarkirkan motornya lalu pergi berlari masuk ke dalam sekolah. Aku terbengong-bengong melihatnya, sosok yang tidak asing bagiku, ya itu Leo. Dan tiba-tiba Leo menegurku agar aku segera masuk ke kelas. Suara itu langsung saja membuyarkan lamunanku. Dan kita berdua akhirnya berjalan berdampingan menuju kelas masing-masing, bahagia rasanya. Kita berjalan dalam diam, tak ada sepatah katapun yang terluncur dari bibir kami berdua. Ku perhatikan setiap gerak tubuhnya dan irama nafasnya, semua seakan-akan melebur menjadi satu. Ah kamu begitu sempurna Leo.“Kamu sangat sulit di tebak, kamu seperti puzzle yang sulit untuk di gabungkan dan teka-teki yang mempunyai banyak cabang”. Waktu rasanya begitu cepat saat kita bersama orang yang kita sukai. Mau tidak mau kami harus berpisah karena letak kelas kami yang berbeda. Dengan gaya khasnya, Leo melambaikan tangan dan tersenyum kepadaku. Lalu Leo pergi, dari kejauhan  punggungnya yterlihatang masih tampak namun perlahan-lahan akhirnya hilang.
            Waktu ke waktu aku dan Leo semakin dekat, sering kali Leo menorehkan senyum kepadaku, mengajakku berbicara tanpa canggung atau sekedar menyapa saat kami bertemu. Dan aku semakin menikmati kedekatan kami yang entah bernama apa. “Aku takut perhatian kecil darinya kapadaku tak hanya ditujukan untukku. Aku takut semua yang aku harapkan tak seperti yang kamu harapkan”. Tak mungkin Leo tidak tahu bahwa aku mencintainya, tak mungkin Leo tidak memahami perhatian kecil dariku. Tak mungkin Leo begitu bodoh untuk dapat mengartikan semuanya. Hanya menunggu yang dapat ku lakukan.
***
            Pertemuan aku dan Leo yang unik dan tidak tertuga menambah kesan dalam setiap kebersamaan kami yang singkat. “Apakah kamu dapat merasakan kesan yang selalu aku rasakan setiap kali kita bersama?” biarlah waktu yang menjawab semuanya.
            Setelah pulang sekolah tak disangka Leo datang mengunjungi kelasku untuk menyampaikan maksud kedatangannya. Ternyata dia ingin mengajakku pergi menonton bersamanya. Dengan senang hati ku ‘iya’ kan ajakkannya. Hari itu kami lalu dengan bahagia dan pada akhirnya semua mimpi, angan dan ilusiku berubah menjadi nyata. Penantianku membuahkan hasil. Akhirnya Leo menyatakan perasaanmu kepadaku. Saat itu kami resmi menjadi sepasang kekasih. Dan aku tak perlu memerhatikannya diam-diam diantara tembok harapan, karena saat ini Leo sudah menjadi milikku. Dan aku tidak perlu iri lagi dengan teman dekatnya.  “Apakah Leo dapat merasakan penantianku selama ini mencintainya diam-diam?” Biarkan semua menjadi rahasia.
Satu hal yang dapat aku pelajari, tunggu lah dan perjuangkanlah sesuatu yang kamu anggap pantas dan lepaskanlah sesuatu yang kamu anggap tidak pantas.”

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar