Rabu, 27 Mei 2015

Peran Mahasiswa untuk mensukseskan "Tridharma Pendidikan"

Perguruan tinggi merupakan salah satu subsistem pendidikan nasional. Perguruan Tinggi juga sebagai lembaga pendidikan jenjang terakhir dari hirarki pendidikan formal mempunyai tiga misi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat atau lebih dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tiga misi yang diemban tersebut bukanlah misi yang mudah untuk direalisasikan. Kita semua terutama sebagai mahasiswa harus turut andil didalam perealisasian ketiga misi tersebut. akan tetapi universitas juga sangat berperan penting dalam posisi sebagai lembaga kajian dan lembaga layanan maka Perguruan Tinggi berfungsi sebagai sarana pembangunan masyarakat baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Saat ini kesadaran mahasiswa akan tanggung jawabnya dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi semakin menurun. Tri dharma perguruan tinggi sebagai salah satu pondasi dan dasar tanggung jawab yang dipanggul mahasiswa (sebagai bagian dari perguruan tinggi) harus dikembangkan secara baik dan bersama-sama. Dengan kondisi Indonesia yang mulai memprihatinkan, sebagai mahasiswa baru perlu mengetahui dan menyadari salah satu pedoman untuk  melaksanakan tanggung jawabnya dalam rangka menjawab tantangan negara dan bangsa Indonesia di masa depan.
Sebagai contoh tidak diterapkannya Pancasila dalam lingkungan kampus yaitu :
a. Hilangnya nilai-nilai agama yang bisa dilihat dari pergaulan yang semakin bebas, seiring dengan masuknya kebudayaan-kebudayaan barat yang tidak sesuai dengan norma-norma agama. Kehancuran moral mereka otomatis akan mempengaruhi  prestasi mereka.
b. Ketika mahasiswa melakukan demonstrasi untuk mengeluarkan aspirasinya, pasti berujung pada kerusuhan dengan aparat yang mengamankan demonstrasi, bahkan tidak jarang demonstrasi menimbulakan korban jiwa. Mereka tidak mengedepankan musyawarah untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
c. Lulusan dari perguruan tinggi banyak yang melakukan hal-hal yang tidak mencerminkan nilai-nilai dari pancasila, seperti pejabat-pejabat yang banyak melakukan korupsi yang pada ujungnya tidak membangun masyarakat menjadi lebih maju namun menyengsarakan rakyat. Bahkan pejabat yang mengerti hukum sekalipun, ada yang tidak melaksanakan kewajiban yang seharusnya. Hal itu mungkin terjadi karena pada saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi, tidak menjadikan pancasila sebagai dasar dari tingkah lakunya.

Peran mahasiswa yang pertama adalah sebagai Agent of Change yaitu agen perubahan. Mahasiswa diharuskan agar dapat membawa perubahan yang bermanfaat bagi masyarakatnya. Dengan adanya perubahan ini maka masyarakat tidak akan terjebak dalam kehidupan yang tidak berkembang. Bahkan mahasiswa telah membuat perubahan besar dalam sejarah bangsa Indonesia dengan jatuhnya sebuah rezim pemerintahan. Dengan contoh ini, maka dapat diketahui bahwa sesungguhnya mahasiswa memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan yang manfaatnya akan sangat besar untuk masyarakat. untuk itu sangat diharapkan mahasiswa dapat menjadi panutan dan contoh untuk masyarakat menjadi lebih baik lagi. Dan mahasiswa juga harus benar-benar disaring atau ditempatkan/diletakkan dan dimanfaatkan sesuai bidangnya masing-masing. Dengan pemanfaatan diri sesuai bidang masing-masing, maka diharapkan akan adanya keteraturan dalam kehidupan masyarakat.

Mahasiswa juga harus punya moral dan akhlaknya yang baik dan beradab sesuai norma-norma yang berlaku diharapkan dapat menjadi panutan dan teladan bagi masyarakat di sekitarnya. Dengan berperannya mahasiswa dalam hal ini, perbaikan moral bangsa menjadi lebih baik pun akan dapat dicapai. dan tidak adalagi yang namanya ketimpangan sosial dan pelanggaran norma norma yang terjadi di masyarakat.


Mahasiswa adalah penentu dari kemajuan atau kemerosotan bangsa, memberikan makna bahwa kita sebagai mahasiswa harus meninggalkan semua perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang mahasiswa, apalagi kita dituntut untuk bisa mewujudkan ketiga poin dalam Tri Darma Perguruan Tinggi. Tri Darma Perguruan Tinggi juga akan terwujud jika kita melandaskan semua perbuatan kita berdasarkan Pancasila.

Sabtu, 13 September 2014

Cinta Tak Bersyarat

Segera ia menutup laptopnya dan berusaha merenggangkan otot-ototnya yang kaku akibat duduk berjam-jam di depan laptop untuk mengerjakan skripsi.

“Yes, akhirnya selesai juga skripsi gue.” Ujarnya.
“Selamat Dimas Prasetya Bagaskara kamu telah berhasil menyelesaikan skripsimu.” Ujarnya bergurau.
“Hah ampun deh tobat-tobat harus ngerjain skripsi sebanyak ini. Ah butuh hiburan banget.” Ujarnya sembari merenggangkan otot-otot tangannya yang pegal akibat mengetik skripsi selama berminggu-minggu.
“Dimas!” Terdengar suara Mamanya memanggil.
“Iya Mah!” Teriaknya dari dalam kamar.
“Sini turun sebentar.”
“Iya.” Jawab Dimas singkat. Segera ia menemui Mamanya di bawah. Dilihatnya Mamanya sedang menemani Raka bermain. Ya Raka itu adalah Adik Dimas satu-satunya. Raka berusia 8 tahun, dan mereka hanya dua bersaudara.
“Ada apa Mah?”
“Besok kamu bisa temani Raka ke Dufan nggak?” Tanya Mamanya.
“Hem boleh juga nih buat hiburan.” Batin Dimas.
“Oke deh Mah.” Jawabnya seraya mengelus kepala Adiknya.
“Asik besok Kak Dimas mau nemenin Raka ke Dufan.” Ujar Raka antusias sambil memeluk Kakak semata wayangnya.
“Yaudah kalo gitu kamu sekarang tidur, biar besok pagi-pagi kita ke Dufan. Oke?” Ujar Dimas.
“Siap Kak!” Jawab Raka sambil bergaya hormat.

***
Esok harinya Dimas dan Adiknya bergegas menuju Dufan.

“Sudah siap Bos?” Tanya Dimas kepada Adiknya.
“Siap Kapten!” Jawab Raka seraya memberikan senyum.

Dimas segera melaju mobilnya menuju Dufan, tak terasa setelah satu jam perjalanan mereka akhirnya sampai di Dufan.
“Mau naik wahana apa dulu nih?” Tanya Dimas.
“Itu aja kak.” Ujar Raka sambil menunjuk wahana perang bintang.

Mereka segera menuju wahana perang bintang. Setelah bermain perang bintang mereka memutuskan untuk menaiki wahana yang lainnya. Setelah menaiki berbagai macam wahana, mereka pun memutuskan untuk beristirahat sejenak.

“Kak, Raka capek nih. Raka haus mau minum.” Rajuk Raka.
“Yaudah kamu tunggu sini dulu ya, Kakak beli minum dulu.” Pesannya kepada Adiknya. Raka pun mengangguk dan menuruti pesan Kakaknya.

Segera Dimas pergi menuju stan minuman. Setelah selesai membeli minuman Dimas segera kembali ke tempat Adiknya menunggu. Tapi saat hendak kembali ia melihat sosok perempuan sedang duduk dibangku sendiri dengan tatapan kosong.
“Siapa ya itu cewek, udah sendirian bengong gitu. Ih serem banget.” Ujarnya dalam hati sambil terus mengamati.
“Ngapain ya dia sendirian di tempat seramai ini?” Ujarnya menerka-nerka.
“Farah!” Teriak salah seorang perempuan. Farah pun segera menghampiri perempuan yang memanggilnya tadi. Saat Farah hendak menuju perempuan tersebut dompetnya tidak sengaja jatuh. Tapi sayang Farah tidak menyadari bahwa dompetnya terjatuh, ia tetap berjalan menghampiri perempuan tersebut.
“Oh namanya Farah, hmm mungkin yang manggil itu temennya.” Ujar Dimas.
“Eh eh itu dompetnya jatuh.” Ujar Dimas sembari memungut dompet tersebut.
“Woi dompet lo jatoh nih!” Teriak Dimas, akan tetapi Farah tidak mendengar suara Dimas dan sosok Farah pun menghilang dari pandangan Dimas.
“Oh iya Raka, kasian banget dari tadi nungguin gue.” Tiba-tiba ia teringat Adiknya dan segera kembali ke tempat Adiknya menunggu. Setelah sampai di tempat Adiknya ia pun lega melihat Adiknya masih di tempat semula.
“Kak Dimas lama banget sih, aku udah kehausan nih.” Ujar Raka dengan mimik mukanya yang lucu.
“Iya maaf ya, ini minumnya.” Ujar dimas seraya memberikan sebotol minuman kepada Adiknya.
“Hem ngomong-ngomong dimana ya itu cewek, gimana nih dompetnya masih sama gue.” Ujarnya dalam hati.
“Kak pulang yuk, aku udah capek nih.” Suara Raka membuyarkan lamunanya.
“Eh iya yaudah yuk.” Ujar Dimas seraya menggandeng tangan Adiknya.
***
Mereka segera pulang ke rumah, sampai di rumah Dimas langsung menuju kamarnya. Sayup-sayup terdengar suara Adiknya yang sedang bercerita kepada Mamanya tentang kejadian di Dufan.

“Kalo diliat-liat dari rona mukanya, kayaknya dia lagi tertimpa masalah.” Batinnya menerka-nerka. Karena masih penasaran dengan Farah, ia pun segera mengambil dompet Farah dan membuka dompet tersebut dan berharap bisa mendapatkan petunjuk. Tapi yang ia temukan bukan kartu pengenal melainkan sebuah foto cowok dan cewek sedang tersenyum bahagia. Tidak lain dan tidak bukan cewek tersebut adalah Farah.

“Cowok ini siapa ya? Pacarnya kali ya.” Batinnya.
“Mukanya Farah di sini ceria banget, beda banget sama yang waktu gue liat di Dufan.”
“Bakal ketemu lagi nggak ya gue sama dia?” Ujarnya.
“Udah ah kebanyakan mikir, pusing kepala gue. Mending tidur.” Ujarnya seraya meletakkan dompet Farah di meja belajarnya. Dan langsung terlelap.

***
Esok harinya tepat hari minggu Dimas memutuskan untuk ke Monas karena sedang dilangsungkan acara car free day.
“Dek, ke Monas yuk.” Ajak Dimas kepada Adiknya.
“Serius Kak? Yaudah yuk aku ambil sepeda dulu ya.” Ujar Raka Antusias.
“Yaudah cepet ya takut kesiangan nih.” Ujar Dimas sembari melihat jam tangannya.
Terlihat Raka sedang menuntun sepedanya. Tampak ia kesulitan saat menaikkannya ke dalam mobil.
“Sini Kakak naikin, kamu masuk duluan aja ke dalam mobil.” Ujar Dimas seraya memasukan sepeda Adiknya ke dalam mobil.
Mereka segera menuju Monas. Tampak terpancar dari rona bahagia dari wajah Adiknya. Dimas memang sayang sekali dengan Adiknya yang satu ini.

***
Sampai di Monas segera Dimas menurunkan sepeda dari mobilnya. Dan langsung berkeliling Monas dengan sepedanya. Saat berjalan-jalan mengelilingi Monas dari kejauhan ia melihat sosok yang dikenalnya. Sedang duduk sendirian dikursi.
“Lho itu bukannya Farah, lagi-lagi di tempat seramai ini dia sendirian. Dan dengan muka pucatnya dan tatapan kosong. Tapi kali ini kondisinya lebih parah dari kemarin.” Ujar Dimas dalam hati.
“Dek, kamu main sendiri dulu ya. Kakak mau ke sana sebentar.” Ujar Dimas kepada Adiknya.
“Oke Kak.”

Segera Dimas menghampiri Farah yang sedang duduk sendirian.
“Hmm sorry lo Farah bukan?” Tanya Dimas hati-hati.
Farah hanya terdiam tak merespon pertanyaan Dimas.
“Hei, nama lo Farah bukan?” Tanya Dimas untuk kedua kalinya sembari melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Farah, kontan membuat Farah sadar dari lamunannya.
“Eh  hmm iya, lo siapa ya? Ada apa?” Tanya Farah.
“Gue Dimas, ini gue cuma mau balikin dompet lo. Ini dompet lo kan?” Ujar Dimas seraya memberikan dompet tersebut kepada Farah.
“Iya bener, kok bisa sama lo?” Tanya Farah.
“Inget nggak waktu lo ke Dufan, waktu lo lagi duduk terus nggak lama temen lo manggil lo dan waktu lo berdiri dompet lo jatoh. Ya sebelumnya gue udah teriak-teriak manggil lo, tapi lo-nya nggak denger.” Ujar Dimas menjelaskan.
“Oh iya gue inget, makasih ya.” Ujar Farah singkat.
“Iya sama-sama. Kalo gue boleh tau, foto cowok didompet lo itu foto pacar lo ya?” Tanya Dimas.
Farah hanya diam membisu tak lama kemudian air mata menetes dipipinya.
“Lho Far lo kenapa?” Tanya Dimas panik.
“Eng...enggak kenapa-kenapa kok.” Jawabnya terbata-bata sambil menghapus air mata dipipinya.
“Terus lo kenapa nangis?” Tanya Dimas lagi.
“Gue cuma keinget Leo, cowok gue.” Ujar Farah sambil menahan tangisnya.
“Emang cowok lo kenapa? Lo kalo mau cerita, cerita aja kegue.” Ujar Dimas menawarkan.
“Malam hari sebelum gue ke Dufan, gue ke rumah Leo untuk ngajakin dia pergi ke Dufan. Tapi saat itu gue malah mergokin dia lagi selingkuh.” Ujar Farah dengan tangisnya yang semakin menjadi.
“Udah lo sabar ya, pasti cowok lo akan dapet balasan yang setimpal.” Ujar Dimas mencoba menenangkan.
“Far, lo kenapa sih selalu sendirian?” Tanya Dimas.
“Gue ngeras tenang kalo lagi sendirian.” Jawab Farah.
“Kak Dimas!!!” Teriak Raka dari kejauhan.
“Itu Adik lo? Namanya siapa?” Tanya Farah.
“Iya haha, namanya Raka.” Ujar Dimas.
“Oh haha lucu ya.” Ucap Farah sambil tersenyum.
“Kak Dimas pulang yuk aku capek.” Ujar Raka.
“Itu siapa Kak?” Tanya Raka sambil melihat ke arah Farah.
“Itu temen Kakak namanya Farah. Cantik kan?” Bisik Dimas kepada Adiknya. Raka hanya mengangguk.
“Hai Raka, aku Farah.” Ujar Farah memperkenalkan.
“Hai Kak Farah. Kakak abis nangis ya?” Tanya Raka polos.
Farah hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari Raka.
“Udah yuk Raka, katanya tadi mau pulang.Kak Farahnya juga mau pulang tuh.” Ujar Dimas.
“Eh iya Kak. Dadah Kak Farah aku pulang dulu ya.” Ujar Raka sambil melambaikan tangannya ke arah Farah. Farah pun membalas lambaian Raka.
“Far, gue pulang dulu ya.” Ujar Dimas.
“Hati-hati ya Dim.” Ujar Farah mengingatkan dan dibalas acungan jempol oleh Dimas.
***
Di kamarnya Dimas hanya melamun memikirkan Farah, Farah, dan Farah. Seakan-akan otaknya hanya dipenuhi oleh Farah.
“Baru pertama kali gue liat dia senyum, kalo senyum dia jadi makin cantik.” Ujar Dimas dalam hati sambil tersenyum.
“Gimana ya keadaan lo sekarang Far? Semoga baik-baik aja deh.” Tambahnya dalam hati.
“Duhh kenapa gue tadi nggak minta nomor handphonenya. Ah bodoh, bodoh, bodoh!” Ujar Dimas sambil memukul-mukul kecil kepalanya.
“Bisa nggak ya kita ketemu lagi....”

***
Esok harinya tepat pukul 9 pagi Dimas sudah harus pergi ke kampus karena harus menyerahkan skripsi dan mengikuti sidang kelulusan. Setelah mempersentasikan hasil skripsi di depan para dosen ia akhirnya ditetapkan lulus. Terlalu banyak waktu yang ia habiskan di kampus hingga tak terasa jam sudah meunjukan pukul 7 malam. ia memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Saat sedang menuju rumahnya dan sedang melewati taman kecil, Dimas melihat sosok Farah sedang duduk sendirian di taman. Lagi-lagi tatapannya kosong. Segera Dimas memberhentikan mobilnya dan menghampiri Farah.

“Far, lo ngapain malem-malem disini? Sendirian pula.” Tanya Dimas.
Farah hanya menggeleng lemah. Karena masih penasaran akhirnya Dimas bertanya sekali lagi “Far, lo ngapain disini?”.
“Leo....Leo... Dim.” Ucap Farah lirih.
“Iya Leo kenapa?” Tanya Dimas.
“Leo udah memperkosa gue.” Jawab Farah sambil menangis.
“Tadi gue ke rumahnya buat minta pertanggung jawaban dia, tapi dia malah nampar gue dan ngusir gue.” Lanjut Farah dengan tangisnya yang memecah kesunyian malam itu.
“Leo brengsek!” Ujar Dimas geram.
“Gue nggak ngerti mau dia apa...” Ujar Farah sambil terisak-isak.
“Ini nggak bisa dibiarin, gue harus buat perhitungan sama dia. Sekarang anterin gue ke rumahnya.” Pinta Dimas.
“Nggak usah Dim, biar gue aja yang nyelesaiin semuanya.” Ujar Farah seraya memegang tangan Dimas.
“Gue nggak bisa liat orang yang gue sayang disakitin.” Tiba-tiba saja kalimat tersebut meluncur dari bibir Dimas.
“Mmmm...maksud apa Dim?” Tanya Farah.
“Iya gue sayang sama lo, gue cinta sama lo Far.” Ujar Dimas.
“Tapi..tapi gue kan udah nggak virgin.” Ujar Farah pelan.
“Gue nggak mencintai keperawanan lo, gue cuma mencintai hati lo Far.” Ujar Dimas membuat Farah terdiam.
“Gue mencintai lo tanpa syarat dan tanpa alasan apapun Far, murni dari hati gue.” Lanjutnya.
“Makasih ya Dim, lo baik banget sama gue....sttt..aw...” Ujar Farah sambil menahan sakit akibat tamparan yang diberikan Leo padanya.
“Yang sakit yang mana Far?” Tanya Dimas seraya memegang pipi Farah yang agak lebam.
“Gue udah nggak kenapa-kenapa kok...” Ujar Farah pelan.
“Yaudah gue anter pulang yuk.” Ajak Dimas, Farah pun hanya mengangguk kecil.
Dinyalakan mesin mobilnya dan melaju ke rumah Farah. Ternyata rumah Farah tidak jauh dari taman tadi.
“Berhenti di rumah yang pagernya coklat Dim.” Ujar Farah.
Dimas pun segera memberhentikan mobilnya.’
“Lo istirahat ya, nggak usah mikirin Leo.” Pesan Dimas kepada Farah. Farah hanya mengangguk dan melangkah masuk ke dalam rumah.

Dimas langsung melaju mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tak sampai 20 menit ia sudah sampai di depan rumahnya. Segera ia masuk ke dalam kamarnya.

***
Sambil duduk di balkon kamarnya dengan secangkir kopi susu kesukaannya. Dimas masih mengingat kejadian di taman tadi.
“Banci banget Leo beraninya mukul cewek.” Ujarnya seraya menonjok tembok di sebelahnya.
“Besok gue harus ketemu Farah.” Timpalnya sambil bergegas masuk kedalam kamar dan pergi tidur.
***
Pagi hari Dimas sudah bersiap-siap menuju Monas dan berharap dapat menemukan sosok Farah di sana. Tapi ternyata sekian lama ia mencari dan menunggu ia tidak menemukan sosok Farah. Kemudian ia bergegas menuju Dufan dan berharap Farah ada di sana. Tapi setelah sampai di Dufan ia tidak menemukan sosok Farah. Ia pun segera pergi dan menuju taman kecil tempat Farah menangis kemarin tapi sayang ia juga tidak menemukan sosok Farah di sana. Karena pencariannya tidak membuahkan hasil ia memutuskan untuk segera pulang ke rumah.

***
Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari. Dimas tetap tidak menemukan sosok Farah. Sudah 5 hari ia tidak bertemu dengan Farah berbagai pikiran negatif berkecamuk dalam pikirannya. Ia khawatir Farah akan disakiti lagi oleh Leo, ia khawatir dengan kondisi Farah. Ia takut terjadi apa-apa dengan Farah. Kini Dimas sudah tak tahu harus mencari Farah kemana dan ia akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah Farah. Segera ia menjalankan mobilnya menuju rumah Farah.
Sesampainya di rumah Farah ia segera menekan bel.
“Tettt...Tettttt” Tak lama kemudian keluar sosok wanita paruh baya dengan memakai kebaya tradisional dan menghampiri Dimas.
“Maaf Den, cari siapa ya?” Tanyanya sopan.
“Hmm saya cari Farah, ada nggak Bu?” Tanya Dimas.
“Lho memang Den ndak tau kalau Non Farah masuk rumah sakit, sudah 5 hari Non Farah koma.
Mendengar hal itu kontan membuat Dimas panik, ternyata yang ditakutkannya selama ini terjadi.
“Kalo saya boleh tau, Farah dirawat di rumah sakit mana ya Bu?” Tanya Dimas.
“Oh kalau ndak salah di rumah sakit Harapan Indah.” Jelas wanita paruh baya tersebut.
“Oh, kalo begitu saya permisi dulu. Terimakasih ya Bu.” Ujar Dimas.
“Iya sama-sama Den.”

Segera Dimas bergegas menuju rumah sakit Harapan Indah. Sampai di rumah sakit, langsung tercium bau khas rumah sakit. Bau menyengat obat-obatan langsung tercium di hidungnya. Di sana ia bertemu dengan Mamanya Farah yang sedang menunggu Farah.
“Maaf Tante, apa benar ini kamarnya Farah?” Tanya Dimas.
“Iya benar.” Jawab Mama Farah singkat,
Dimas pun segera masuk ke dalam Dilihatnya Farah dengan wajah pucat sedang terbaring tak berdaya dikasur.
“Tante nggak ngerti apa yang ngebuat Farah sakit lagi.” Ujar Mama Farah.
            “Lagi? Memang dulu Farah pernah sakit Tante?” Tanya Dimas penasaran.
“Iya, dari dulu memang fisik Farah lemah. Capek sedikit dia bisa pingsan, terlalu banyak pikiran dia langsung mimisan. Tapi sejak dia kenal sama Leo, dia jadi berubah. Farah jadi lebih ceria dan sudah jarang sekali pingsan. Tapi entah kenapa Leo nggak pernah muncul lagi akhir-akhir ini, padahal Farah lagi sakit.” Jelas Mama Farah.
“Leo tante? Leo yang udah....” Hampir saja Dimas keceplosan tentang Leo yang merenggut kevirginannya Farah.
“Udah apa?”
“Eh enggak apa-apa Tante. Tante saya pulang dulu ya, besok saya ke sini lagi.” Ujar Dimas pamit.
“Iya terimakasih ya sudah menjenguk Farah.” Ujar Mama Farah.
“Sama-sama Tante.”

Malam harinya Dimas memikirkan kondisi Farah, ia tak menyangka Farah sudah sejak lama menahan penyakit yang sedang dideritanya. Ditambah lagi berbagai masalah sedang menimpanya dan sekarang ia harus melawan penyakitnya. Dimas kagum dengan Farah, walaupun dengan kondisi seperti itu ia masih sanggup bertahan hidup.

***
Esoknya ia langsung bergegas ke rumah sakit. Di sana ia melihat Mama Farah yang setia menemani Farah di rumah sakit.
“Permisi Tante, Lho Tante kenapa nangis.” Tanya Dimas penasaran karena melihat Mamanya Farah meneteskan air mata.
“Ini lho, Tante nggak nyangka Leo yang Tante anggap baik ternyata berbuat jahat sama Farah. Sampai bikin Farah jadi kayak gini.” Ujar Mama Farah dengan air mata yang terus mengalir dipipinya.
“Maksud Tante? Ini apa Tante” Tanya Dimas.
“Itu buku harian Farah, Tante nemuin itu di kamar Farah saat Farah sedang koma di rumah sakit. Semua yang terjadi Farah menuliskannya disitu. Yang bikin Tante nggak habis pikir Leo tega ngambil keperawanannya Farah.” Jelas Mama Farah dengan tangis yang makin menjadi.
“Sabar Tante, saya yakin pasti Leo dapat ganjaran yang setimpal.” Ujar Dimas menenangkan.
“Dimas, kamu simpan saja buku harian Farah ini.” Ujar Mama Farah seraya memberikan buku harian Farah kepada Dimas.
“Baik Tante, Tante gimana keadaan Farah?”
“Semakin hari kondisinya semakin memburuk, Tante nggak tau harus gimana lagi.” Jelasnya.
“Yang tabah ya Tante, kita cuma bisa berdo’a untuk kesembuhannya Farah biar semua kita serahin sama Tuhan.” Ujar Dimas.
“Iya Tante selalu berdo’a untuk kesembuhan Farah.”

Tak terasa hampir seharian penuh ia di rumah sakit untuk menemani Farah. Jam sudah menunjukan pukul 8 malam. Dimas pun pamit dan bergegas pulang.

“Tante saya pamit dulu ya, sudah malam.” Pamit Dimas.
“Iya hati-hati ya Dimas.”
***

Segera dipacu mobil kesayangannya dengan kecepatan tinggi. Sampai di rumah buru-buru ia membaca isi buku harian Farah. Dilihatnya halaman demi halaman sampai pada saatnya ia menemukan halaman yang berisi...

Dear Diary...
Malam itu tepatnya tanggal 19 Juni 2012 aku datang ke rumah Leo dengan maksud mengajaknya pergi ke Dufan. Tapi sayang yang kulihat malam itu Leo selingkuh dengan perempuan lain. Hatiku bagaikan tersayat-sayat ujung mata pisau yang baru diasah, sakit, perih. Semua itu melebur jadi satu di dalam tubuhku. Aku tak sanggup menerima semuanya...

Dibukanya halaman selanjutnya dan kemudian Dimas melanjutkan membaca. Dimas masih penasaran dengan semua perlakuan Leo terhadap Farah.

Dear Diary...
Hari itu tanggal 20 Juni 2012 Leo mengajakku jalan. Kami pergi ke mall, di sana kami menonton film dan makan berdua. Tapi tiba-tiba saat hendak pulang ke rumah diantar oleh Leo tubuhku rasanya berat sekali, kepalaku pusing, mataku berkunang-kunang dan akhirnya aku pingsan. Saat aku terbangun ternyata aku sudah ada disebuah ruangan, ya aku sudah berada di kamar Leo. Kejadiannya begitu cepat, Leo tiba-tiba saja mendorong tubuhku dan terus-menerus menamparku. Tubuhnya yang kekar tak membuatku cukup kuat untuk melawannya. Dan akhirnya semua yang aku takutkan terjadi, keperawananku direnggut olehnya. Setelah itu ia langsung membuangku di tengah jalan. Perasaanku berkecamuk, aku merasa sudah jadi manusia paling berdosa, dan aku merasa sebagian nyawaku hilang. Tapi aku lega karena akhirnya aku masih bisa selamat sampai di rumah...

Dimas masih tak percaya Leo akan setega itu dengan Farah. Kemudian dibuka halaman selanjutnya dan ia kembali meneruskan membaca.

Dear Diary...
Tanggal 22 Juni dengan penuh keberanian kudatangi rumah Leo. Aku ingin meminta pertanggung jawaban atas apa yang dilakukannya terhadapku. Tapi entah mengapa lagi-lagi dia menamparku. Dan saat aku bertanya tentang hubungan gelapnya dengan perempuan waktu itu. Ia malah menudingku, ia menuduhku berselingkuh dengan Dimas. Akupun membela Dimas, karena Dimas tak tau apa-apa tentang hal ini, ia hanya sekedar membantuku. Lagi-lagi aku ditampar dan didorongnya hingga wajah dan badanku penuh dengan luka lebam. Karena tidak tahan atas perlakuannya aku memutuskan untuk pulang ke rumah akan tetapi aku tidak sanggup harus pulang dengan kondisi seperti itu. Akhirnya ku putuskan untuk duduk di taman hingga malam. Tapi entah malaikat dari mana yang mengirimkanku sesosok pria yang peduli dengan kondisi ku, ya pria itu adalah Dimas. Dimas satu-satunya orang yang tau tentang keadaanku, dengan kemurahan hatinya aku diantarkannya pulang ke rumah.

Dimas sempat terharu membacanya, tapi saat itu perasaannya sedang tidak menentu. Antara sedih, kesal, marah semua menjadi satu. Rasanya ia ingin sekali membunuh Leo. Ditutupnya buku harian Farah dan ia memutuskan untuk tidur supaya pikirannya lebih tenang.
***
Esok paginya Dimas terbangun dengan kondisi badan lebih baik dan pikiran lebih tenang dibanding kemarin malem. Tiba-tiba saja handphonenya bergetar tanda ada panggilan masuk. “Drtttt....Drtttt...Drtttt..” Dilihat layar lcd handphonenya tertera nomor tanpa nama. Segera ditekannya tombol jawab. “Klik”
“Hallo, bisa bicara dengan Dimas?” Tanya suara diseberang.
“Iya ini saya sendiri, maaf saya bicara dengan siapa ya?” Tanya Dimas.
“Ini saya Mamanya Farah...” Ucapnya lirih.
“Oh, ada apa Tante? Tante kenapa? Kok nangis?” Tanya Dimas.
“Farah Dim...Farah meninggal...kamu dateng ya saat pemakaman.” Ujar Mama Farah.
Dimas hanya bisa terpaku mendengar kabar tersebut, tak disangka Farah akan pergi secepat itu. Seakan-akan mulutnya terkunci tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
“Hallo Dimas, kamu masih di situ kan?” Tanya Mama Farah.
“Eh iya Tante maaf, iya saya pasti dateng kok.” Ujar Dimas kemudian telephone terputus.
***
Setelah bersiap-siap Dimas segara bergegas ke pemakaman. Sampai di pemakaman terlihat banyak sekali orang berkumpul di sana. Saat melihat batu nisan bertuliskan nama Farah ia masih tak percaya Farah sudah tidak ada di dunia lagi. Ia melihat Mamanya Farah sedang menatap nanar makam anaknya.
“Tante yang tabah ya, mungkin Tuhan punya rencana baik buat Tante dan keluarga.” Ujar Dimas menenangkan.
“Iya Dimas terimakasih, ngomong-ngomong ini ada surat dari Farah sebelum dia koma dia menitipkan itu pada Tante.” Ujarnya seraya meberikan secarik kertas kepada Dimas.
“Iya Tante terimakasih, oh iya Tante Leo nggak hadir ke pemakamannya Farah?” Tanya Dimas.
“Kamu belum tau ya, pemuda brengsek itu akhirnya dipenjara. Menurut hasil penyelidikan ia terbukti bersalah atas tindakan pemerkosaan terhadap Farah dan dia juga terkait kasus narkoba. Baguslah biar jera anak itu” Jelas Mama Farah.
“Sabar Tante. Sekarang Farah sudah tenang di surga.” Ujar Dimas.
“Iya semoga ya.”
Acara pemakaman pun selesai Dimas bergegas pulang ke rumah. Sesampainya di rumah segera dibukanya secarik kertas pemberian Mamanya Farah, ternyata kertas tersebut berisika surat dari Farah.

Dear Dimas,

Dimas, makasih atas semua kebaikanmu kepadaku. Makasih atas segala bentuk kepedulianmu terhadapku. Kamu datang disaat aku terpuruk, kamu yang membuatku kuat untuk bertahan sejauh ini. Makasih untuk ketulusan kamu, mkasih untuk cintak tak bersyarat darimu. Satu hal yang harus kamu tau, aku sayang kamu. Tapi aku sadar sama kondisi fisikku yang nggak memungkinkan aku untuk bertahan lebih lama. Aku nggak mau ngecewain kamu Dim. Terimakasih buat segala keindahan, kebahagian yang kamu berikan kepadaku. Oh iya aku titip salam ya buat Raka hehe.
-Farah-

Digenggamnya erat-erat surat dari Farah. Perlahan air matanya menetes dipipinya, ia tak kuasa menahan semuanya lagi. Kini ia harus menerima kenyataan pahit bahwa Farah telah tiada.

Cinta yang tulus tak butuh syarat dan alasan apapun, tak melihat seburuk apapun kondisi fisik seseorang. Cinta tak butuh kemewahan, tapi cinta hanya butuh kebahagiaan. Saat mencintai seseorang memang kita yang merencanakan, tapi Tuhan yang memutuskan. Cinta yang murni hanya didasari dari hati yang tulus. Cinta yang abadi akan selalu kekal sampai kapanpun.

-The End-

Biarlah Waktu yang Menjawab

Hari ini seperti biasa semua berjalan lambat dan membosankan. Ku lihat guru sejarah bercuap-cuap di depan kelas menerangkan materi, semua murid memperhatikan dengan serius. Kecuali aku, aku hanya menatap kosong keluar jendela sembari memutar-mutarkan ballpoint ditanganku. Mataku terus mengamati ke luar jendela hingga aku menemukan sosoknya. Sosok yang selama ini aku cari dengan gayanya yang khas lewat di depan kelas ku. Mata ku terus menelusuri sosoknya hingga perlahan-lahan sosoknya menghilang.
            Ya perkenalkan namaku Klarisa. Aku adalah seorang pemuja rahasia yang mengagumi laki-laki yang tak berani bertatapan namun memerhatikan setiap gerak-geriknya dari jauh. Aku lebih nyaman seperti ini, karena dengan begini semua akan terlihat baik-baik saja. Dan dia tidak perlu tahu tentang perasaanku dan aku tidak perlu canggung jika bertemu dengannya. laki-laki itu bernama Leo. Aku mengenalnya karena kami satu tim volly. Walau sering kali kami latihan bersama-sama tetapi hanya diam dan bisu yang kurasakan. Kami seperti orang tak saling kenal, tak ada satu katapun yang terucap dari bibir kami berdua. Sosoknya begitu misterius hingga membuatku penasaran.
***
            Hari itu tepat hari senin, seluruh siswa dan guru mengikuti upacara. Tiba-tiba saja mataku menangkap sosoknya dalam kerumunan siswa yang berbaris. Dengan stelan seragam putih-putih sederhana kulihat Leo sedang mengatur teman-teman sekelasnya untuk tertib. Sayangnya jarak antara kita harus dibatasi oleh beberapa murid yang berbaris. Tak apa bagiku yang terpenting ialah bisa melihatnya walaupun dia tidak melihatku.
            Tak bisa dipungkiri perasaanku kian hari bertambah pesat setiap kali aku dan Leo bertemu, agak berlebihan rasanya jika aku mengatakan ’bertemu’ lebih tepatnya ‘berpas-pas-an’. “Awalnya ku kira ini serangan jantung, tapi saat aku melihat ke arahmu aku tau penyebabnya itu adalah kamu”.  Perasaan ini berkembang menjadi rasa yang tak dapat aku jelaskan, bahkan aku sendiri juga masih belum mengerti. Aku tak berani menatap wajahnya, hanya menunduk kerap kali kami bertemu. Tak peduli bila Leo berpikir bahwa aku aneh.
            Malam harinya iseng-iseng ku buka twitterku dan lagi-lagi ku dapati Leo dalam kebisingan timeline ku. Pertanyaan malam ini, “mengapa kita hanya sering bertemu dalam timeline?” “tak pantaskah kita bertemu dalam nyata?”. Ya benar, kami memang sudah saling berteman di dalam situs jejaring sosial itu.
***
            Waktu istirahat sudah tiba, segera aku meluncur ke kantin, dan aku menemukan Leo sedang bersenda gurau bersama teman-temannya. Dengan suara, senyuman, tawa dan gaya khasnya menambah kesan kharisma dalam dirinya. Lagi-lagi aku hanya bisa menatapnya diam-diam, semua ku sembunyikan, mencintai tanpa sepengetahuan Leo. Senang rasanya bila menjadi teman-teman terdekatnya, dapat berbicara dengannya tanpa canggung, dapat menatapnya tanpa malu-malu, dapat menyentuhnya, bahkan dapat bertukar pikiran dengannya. Aku kadang iri dengan teman-temannya. Kita jarang punya waktu untuk sekedar berbicara berdua. Hah mustahil! Tiba-tiba saja ada kejadian yang tak dapat kulupakan bahkan membekas di hatiku. Saat aku sedang memesan minuman bersebelahan dengan Leo yang juga sedang  memesan minuman. Tak sengaja lengan kami pun bersentuhan.
Malamnya ku hempaskan tubuhku ke atas kasur, pandanganku tertuju lurus ke arah langit-langit kamarku ku lihat sosok dengan senyum khasnya. Ya sosok itu adalah Leo. Terbayang jelas di otakku kejadian tadi siang di kantin. Untuk kedua kalinya aku dan Leo bersentuhan. “Kedua? Ya kedua, ingat kah untuk pertama kalinya kita bersentuhan saat sedang latihan? Dan pelatih menyuruh kita semua berpasang-pasangan tapi tiba-tiba kamu secara refleks menggenggam tanganku. Padahal disebelah kamu ada temanmu, mengapa kamu memilihku untuk berpasangan denganmu?” Apakah semua ini awal dari terkabulnya semua harapanku?
***
            Sejak saat itu aku selalu menunggu sosok Leo di kantin. “kamu adalah sosok yang selalu aku cari,tapi aku adalah sosok yang tidak pernah kamu temukan.” Pernah saat aku sedang memerhatikannya, tiba-tiba mata kami berdua bertemu. Serasa darah ku mengalir cepat di dalam tubuhku. Kami terus bertatapan tanpa mempedulikan apapun disekitar, sampai akhirnya Leo melepaskan tatapannya kepadaku dan kembali bercanda dengan teman-temannya. Timbul rasa kecewa dalam hatiku tapi aku merasa dengan cara Leo menatapku seperti itu aku dapat berbicara dengannya, walau hanya dengan tatapan. “apakah kamu juga selalu menatapku saat kita bertemu? Menatap diriku yang sedang tertunduk malu?” batinku menyesal.
            Hari demi hari, kami menjadi sering bertemu lebih tepatnya berpas-pas-an. Tak jarang aku menangkap matanya dan mataku bertemu malu-malu. “kita seperti 2 pasang mata yang tak berani bertatapan namun saling memerhatikan”. Hatiku bergejolak dan menaruh harap. Timbul dalam benakku perasaan “apakah kamu juga menyukaiku?” Timbul seutas garis senyum di sudut bibirku. Padahal aku sudah berjanji pada diriku untuk tidak terlalu banyak berharap. Ingin rasanya mengungkapkan semua yang aku rasakan tapi bila berpikir secara logika. “Melihat kamu ada di timeline ku saja sudah membuatku kalang kabut. Melihat kamu tersenyum walau bukan untukku saja sudah membuat aku senang. Tak perlu menjadi sesuatu yang kamu rindukan, cukup menjadi sesuatu yang kamu butuhkan saja sudah membuat ak  senang”.
***
            Hari ini bagiku adalah hari terindah, setelah sekian lama aku menunggu hal itu. Untuk pertama kalinya Leo mengajakku berbicara, walaupun ia hanya bertanya “ada buku yang ketinggalan di sini nggak?” cuma dengan 1 kalimat yang tidak berarti seperti itu saja sudah membuatku kalang kabut. Dengan gemetar ku jawab “tidak ada kok.” Dia pun menjawab “oh okedeh thanks ya Klarisa” ucapnya sambil tersenyum. Tak ada yang istimewa bukan? Tapi di dalam kalimat sederhana itu yang menjadikannya istimewa saat dia menyebut namaku. Dia tahu namaku! Padahal selama ini kita tidak pernah berkenalan, jangankan berkenalan berbicara kepadaku saja tak pernah. Ku balas dengan senyuman penuh arti. Entah apakah dia menangkap arti dari senyumku saat itu.
            “Salahkah jika aku mengartikan tindakkanmu sebagai cinta? Salahkah juga bila aku selalu berharap kita mempunyai perasaan yang sama?” Ya biar saja semua menjadi salahku. Baru kali ini aku merasa kesalahan terasa begitu indah. “bagiku mencintaimu bukan sesuatu kesalahan”.
***
            Semuanya berjalan normal, aku menikmati semua ini. Bagiku bahagia itu sederhana bisa menikmati saat-saat aku memerhatikannya dari jauh, bisa menikmati saat dimana mata kami saling bertemu, bisa menikmati saat pertama kali Leo mengajakku berbicara. Sesederhana itu, tapi dapat membuatku bahagia. “Diam-diam aku senang menulis tentangmu, diam-diam kamu menjadi salah satu inspirasi bagiku”. Aku terus tersenyum sembari menekan-nekan tuts keyboard dilaptopku. “Sadarkah Leo, ada yang selalu memperhatikanmu”.
            Kulihat lampu LED ku menyala kedap-kedip tanda ada pesan masuk. Ku baca nama yang tertera dilayar handphoneku, tanpa nama. Ku buka pesan tersebut dan ku baca dan ternyata itu Leo. Aku merasa jantungku tiba-tiba berhenti berdetak. Tak kusangka Leo mengirimkan pesan singkat kepadaku. Malam itu kami saling membuka percakapan melalui pesan singkat.
Setiap kali bertemu kami tak banyak bicara hanya saling berbicara lewat tatapan tapi mengapa sepanjang malam dalam pesan singkat, ada saja hal yang aku dan Leo bahas, dan membuat kita berdua saling berargumen. Terbaca dari percakapan-percakapannya melalui pesan singkat ia begitu antusias dan bersemangat merespon pembicaraan ku. Apakah aku harus merasa sesenang ini? Atau tidak. Bisa saja dia menulis tanpa perasaan dan  emoticon ‘J’ yang dia selipkan di setiap pesan singkatnya hanya sebatas pelengkap untuk menyembunyikannya.
Entah kenapa hari ini pesanmu tidak muncul dalam inbox handphoneku. “Apakah kamu berpikir aku akan menghubungi kamu duluan? Aku tidak mengirimkanmu sms duluan bukan karena aku tidak peduli, tapi karena aku menunggu sms darimu”.
***
Seperti tahu yang aku inginkan, malam itu Leo kembali mengirimkan ku sms dan kami kembali memulai percakapan-percakapan sederhana hingga sampai pada akhirnya kami berbicara pada titik tertinggi dan paling menyentuh dari dalam ruang kecil di hati, ya cinta. Leo menceritakan tentang mantan kekasihnya, menceritakan tentang manis pahitnya kehidupan percintaannya, menceritakan tentang kerinduan terhadap perhatian kecil yang didapat dulu dari kekasihnya. Padahal jika dia menyadari, aku sudah memberikan perhatian-perhatian kecil tersebut kepadanya. Apakah mungkin dia belum menyadarinya. Lalu batinku bertanya-tanya “Bukankah pria hanya akan menceritakan perasaannya kepada wanita yang dianggapnya nyaman?” Apakah Leo kini sudah nyaman denganku? Lagi-lagi timbul secerca harapan dalam benakku. Akhir-akhir ini aku menjadi sulit tidur, bukan karena banyak pikiran tetapi karena ada 1 hal yang membuatku malas untuk tidur hingga pagi, itu karena Leo. Rugi rasanya bila harus mengakhiri pembicaraan ku dengan Leo sampai aku harus menahan kantukku. “Sadarkah kamu, ada yang selalu menahan kantuknya agar terus dapat berbicara denganmu walau ia harus salah mengetik?”
***
            Pagi hari aku datang ke sekolahku dengan perasaan tergesa-gesa karena saat itu jam sudah menunjukan 6 lewat 45. Aku berpikir bahwa hanya aku saat itu yang datang terlambat. Tapi ternyata tidak, disudut parkiran kulihat seorang laki-laki terburu-buru memarkirkan motornya lalu pergi berlari masuk ke dalam sekolah. Aku terbengong-bengong melihatnya, sosok yang tidak asing bagiku, ya itu Leo. Dan tiba-tiba Leo menegurku agar aku segera masuk ke kelas. Suara itu langsung saja membuyarkan lamunanku. Dan kita berdua akhirnya berjalan berdampingan menuju kelas masing-masing, bahagia rasanya. Kita berjalan dalam diam, tak ada sepatah katapun yang terluncur dari bibir kami berdua. Ku perhatikan setiap gerak tubuhnya dan irama nafasnya, semua seakan-akan melebur menjadi satu. Ah kamu begitu sempurna Leo.“Kamu sangat sulit di tebak, kamu seperti puzzle yang sulit untuk di gabungkan dan teka-teki yang mempunyai banyak cabang”. Waktu rasanya begitu cepat saat kita bersama orang yang kita sukai. Mau tidak mau kami harus berpisah karena letak kelas kami yang berbeda. Dengan gaya khasnya, Leo melambaikan tangan dan tersenyum kepadaku. Lalu Leo pergi, dari kejauhan  punggungnya yterlihatang masih tampak namun perlahan-lahan akhirnya hilang.
            Waktu ke waktu aku dan Leo semakin dekat, sering kali Leo menorehkan senyum kepadaku, mengajakku berbicara tanpa canggung atau sekedar menyapa saat kami bertemu. Dan aku semakin menikmati kedekatan kami yang entah bernama apa. “Aku takut perhatian kecil darinya kapadaku tak hanya ditujukan untukku. Aku takut semua yang aku harapkan tak seperti yang kamu harapkan”. Tak mungkin Leo tidak tahu bahwa aku mencintainya, tak mungkin Leo tidak memahami perhatian kecil dariku. Tak mungkin Leo begitu bodoh untuk dapat mengartikan semuanya. Hanya menunggu yang dapat ku lakukan.
***
            Pertemuan aku dan Leo yang unik dan tidak tertuga menambah kesan dalam setiap kebersamaan kami yang singkat. “Apakah kamu dapat merasakan kesan yang selalu aku rasakan setiap kali kita bersama?” biarlah waktu yang menjawab semuanya.
            Setelah pulang sekolah tak disangka Leo datang mengunjungi kelasku untuk menyampaikan maksud kedatangannya. Ternyata dia ingin mengajakku pergi menonton bersamanya. Dengan senang hati ku ‘iya’ kan ajakkannya. Hari itu kami lalu dengan bahagia dan pada akhirnya semua mimpi, angan dan ilusiku berubah menjadi nyata. Penantianku membuahkan hasil. Akhirnya Leo menyatakan perasaanmu kepadaku. Saat itu kami resmi menjadi sepasang kekasih. Dan aku tak perlu memerhatikannya diam-diam diantara tembok harapan, karena saat ini Leo sudah menjadi milikku. Dan aku tidak perlu iri lagi dengan teman dekatnya.  “Apakah Leo dapat merasakan penantianku selama ini mencintainya diam-diam?” Biarkan semua menjadi rahasia.
Satu hal yang dapat aku pelajari, tunggu lah dan perjuangkanlah sesuatu yang kamu anggap pantas dan lepaskanlah sesuatu yang kamu anggap tidak pantas.”

The End